Breaking News

Wednesday, 13 May 2015

Harapan Kecil Untuk Rafi


“BRAK!!!” Suara gebrakan pintu itu mengagetkanku.
“Ayo bangun, mau sampai kapan lo tidur terus?! Dasar anak tidak tahu malu. Udah numpang, males-malesan lagi!! Lama-lama gue usir juga lo!!!” bentak bu Ijah. Dia adalah saudara jauh dari keluarga ayahku. Kini Ayah telah tiada, semenjak satu tahun yang lalu. Ia meninggal karena penyakit kanker yang tak dapat disembuhkan karena suatu alasan umum di Indonesia. Kemiskinan.
Pagi ini aku benar-benar lelah dan sangat malas untuk bergerak, bergerak pun aku enggan. Aku terbangun juga paksaan dari bu Ijah tadi, tiada hari tanpa marah-marah kepadaku. Entah mengapa hadirnya aku di kehidupannya bagai tanaman benalu yang harus segera disingkirkan. Sebenarnya aku tak seburuk yang ia pikirkan, ia terlalu memandangku lemah dan pemalas. Padahal karena hasil usahaku meminta-mintalah kami berdua bisa makan.
Aku berjalan lesu menuju kamar mandi yang jauh dari kata bersih dan layak untuk dijadikan kamar mandi. Dindingnya terbuat dari seng bekas yang sudah reyot dan bolong. Belum lagi lantainya yang hitam bekas kaki-kaki penuh lumpur tanpa memiliki kesadaran untuk membersihkannya. Baunya yang pesing bercampur bau-bau makanan busuk menyampur jadi satu, namun apa daya inilah kehidupanku. Tidur menumpang, rumah berada di emperan sungai yang hampir setiap hari aku meihat sampah. Baju lusuh dan bau busuk menyertai perjalananku mencari uang di dekat-dekat lampu merah jalanan. Itulah sebabnya aku malas untuk menjadi manusia yang lebih baik, malas berusaha, malas bekerja dan akhirnya memilih mengemis dari setiap orang yang aku temui di jalan.
Siang ini aku duduk beristirahat di bawah hijaunya pohon beringin, menghitung uang receh dan lembaran uang ribuan bersama teman-temanku.
“dapet berapa fi?” tanya Tasya kepadaku. Ia adalah anak perempuan yang lucu dan suka tertawa. Dalam hati kecilku aku menaruh rasa suka padanya.
“sedikit nih, baru dapet lima ribu, soalnya dari tadi pada pelit-pelit orangnya.” ujarku sambil mengejek kendaraan-kendaraan yang berhenti silih berganti.
“kalah lo sama gue, lihat nih gue dapet empat puluh delapan ribu coy!!” Dimas tiba-tiba pamer atas pencapaian mengemisnya karena hasil yang didapat melebihi pendapatanku dan Tasya.
Kami bertiga berjalan menuju warung terdekat untuk membeli air dan beberapa camilan, tapi tidak untukku. Pantang bagiku untuk membelanjakan uang yang sedikit ini hanya untuk membelikan air dan camilan, aku teringat bu Ijah yang menantiku di rumah.
“dia pasti menungguku untuk makan” gumamku memandangi recehan di tanganku.
“kamu kepikiran bu Ijah lagi ya Rafi? Tasya memandangku penuh rasa perhatian. Ia memberikan potongan rotinya lalu menyodorkannya kepadaku. Dimas pun demikian, ia tak ragu membelikan air agar rasa dahagaku hilang dan bisa kembali ke jalan.
“kalian semua baik banget sama aku, semoga kita selalu bersama ya teman-teman. Aku sayang kalian.” aku memeluk mereka bersamaan, air mata mengalir di sela-sela wajahku yang hitam dan kotor.
“Amiiinnnn…” ucap Dimas dan Tasya sambil tersenyum. Entah mengapa dari sini aku mulai menyadari bahwa Tasya dan Dimas adalah dua orang yang sangat berarti dalam hidupku. Mereka berdualah yang selalu ada semenjak aku menderita saat ditinggal pergi Ayahku, sedangkan aku tak pernah melihat ibuku sama sekali semenjak aku lahir ke dunia yang kejam ini. Dengan mereka berdua aku mengerti sahabat, serta kasih sayang, dan dengan mereka harapan kecil untuk bisa membahagiakannya pun ada dalam hatiku.
“lo mau ngasih gue makan apaan cuma dapet uang tujuh ribu doang??!” lo kira ni tempat bisa gue dapet dengan uang lo yang cuma tujuh ribu??!” aku menunduk karena takut pada bu Ijah. Sebenarnya aku sudah mengetahui akan dihina dan dimarahi jika aku kurang mendapatkan uang diatas dua puluh ribu untuk disetorkan padanya. Jika aku memberikan sejuta alasan pun akan percuma, karena dia bisa lebih marah padaku.
“aku sudah berusaha bu, tapi hasilnya cuma itu” jawabku pelan karena takut membuatnya semakin marah.
“jangan membela diri lo di depan gue! Bapak lo tuh udah mati dan sekarang lo nggak punya apa-apa selain gue! Paham lo?!!” kata-kata itu bagai pisau raksasa yang menusuk hatiku bertubi-tubi. Hatiku hancur mendengar perkataannya, dan tanpa menoleh ke arahnya aku berlari menghilang di kegelapan malam. Suara bu Ijah yang berteriak memanggil-manggilku tak kuhiraukan sama sekali. Aku terus berlari dan berlari, bersama air mata derita yang terus keluar tanpa bisa berhenti.
“Ayah apa kabar kau disana? Sehat selalu kan yah? Ayah Rafi kangen Ayah, Rafi tadi dimarahin bu Ijah karena cuma bisa ngasih uang tujuh ribu. Omongannya kasar yah, aku harap ayah melihatnya tadi.” aku terus bercerita tentang masalahku, seakan ayahku masih hidup untuk menasehati dan memeluk tubuh mungilku yang tak sanggup akan roda bawah kehidupan.
“Ayah, hari ini aku berharap dan bersumpah akan harapanku untuk bisa bertahan hidup di dunia yang keras ini. Harapanku untuk bisa mempertahankan orang-orang yang aku sayangi dari berbagai penderitaan mereka. Juga harapanku untuk bisa menjadi manusia yang tidak dapat dijatuhkan oleh malas dan penderitaan. Aminkanlah do’aku ini ayah.” di malam yang dingin dan sepi ini aku berdo’a kepada-Nya, Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Aku memejamkan mataku, merasakan khusyuknya do’aku, dan setelah keyakinanku mantap aku berkata dalam hati.
“bangkitlah kau menjadi manusia yang tangguh wahai jiwa yang malas”
Dan semua renungan di malam itu kini memberikan harapan baru, harapan bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.

No comments:

Post a Comment

Designed By